Minggu, 29 Juli 2012

Saya dan pendidikan

Saya lahir di lingkungan keluarga dengan kultur pendidikan yang sangat kental. Bapak dan ibu saya seorang dosen. Mereka adalah pendidik yang tugas utamanya adalah mengajar para pendidik lain (guru-guru). Kakek saya juga di awal karirnya seorang guru. Tante dan Om saya juga dosen. Terutama sekali di keluarga inti, nilai-nilai akademisi adalah nomer 1. Saya tumbuh besar dengan dengan melihat kedua orangtua saya menghabiskan waktu mereka dengan membeli buku, membaca buku, meneliti, mengajar, duduk manis di depan mesin ketik (sekarang komputer), berdiskusi (tak kenal waktu dari bangun tidur, menyiapkan bumbu di dapur, saat makan, sambil menonton TV, saat berkebun, hingga tidur lagi). 

Bapak saya mendidik saya dengan sangat keras dalam hal kedisiplinan belajar. Ia mengatur kapan saya harus mengerjakan PR dan kapan saya harus bermain dan benonton TV. Ia membuat peraturan bahwa saya hanya boleh bersenang-senang (baca komik, nonton Cartoon Network, dsb) jika saya sudah dirasa menunaikan kewajiban utama sebagai seorang “siswa yang baik”. Aturan tak terlulis lain mungkin bisa saya katakan, terkadang nilai 8 dan masuk peringkat 5 besar itu belum cukup. Ada kala malam hari adalah waktu yang paling menegangkan karena bapak selalu setia menemani saya belajar dan adalah hal yang sangat tidak asyik jika saya tidak bisa menjawab soal-soal LKS (Lembar Kerja Siswa). Waktu menuju tempat tidur akan terasa berjalan lambat sekali.

Tiada hari tanpa belajar di mata bapak. Segala sesuatu yang ada di dekat saya akan selalu dikaitkan dengan pelajaran sekolah. Saya sekarang hanya bisa senyum-senyum sendiri jika ingat bagaimana saat saya “leyeh-leyeh” membaca komik “Smurf” dalam bahasa Inggris dan bapak saya menanyakan arti bahasa Indonesia hampir setiap kata yang ada di komik tersebut--untuk menguji perbendaharaan kata saya. Atau setiap kali saya diberi hadiah majalah Bobo dan bapak selalu mengingatkan apakah saya sudah mengerjakan soal-soal pelajaran di majalah Bobo atau belum. Saya selalu menunggu hari Minggu. Ada Doraemon, Sailor Moon, Power Rangers dan lain-lain. Saat saya SD, hari Minggu adalah jadwal dimana bapak bermain tennis bersama teman-temannya. Saya ingat bagaimana sebelum ia berangkat, setiap Minggu pagi, saya harus menghapalkan perkalian dari 1-10 di depannya sebelum saya boleh menyalakan TV. Jika saya membuat kesalahan, saya harus mengulang dari awal. 
Mungkin pengalaman-pengalaman tersebut terasa “mengerikan” untuk sebagian orang. Ya, benar saya dididik untuk menjadi anak rumahan. Jadwal saya diatur sedemikian rupa dan saya tidak terlalu sering menghabiskan waktu di luar bermain-main seperti anak-anak pada umumnya. Bapak lebih suka konsep anak yang kalem dan tidak heboh sana-sini. Saya ingat saya pernah pulang sekolah dengan kondisi lutut saya luka karena jatuh. Sambutan bapak tidak terlalu menyenangkan. 
Harus saya akui bahwa, saya pernah mengalami masa sulit untuk menerima masa kecil seperti itu. “Anak kecil kan mestinya main-main yaa...”  begitu pikir saya. Hingga sampai pada suatu titik dimana saya sadar bahwa tidak ada yang namanya kebetulan. Saya berterima kasih atas semua itu karena dengan melewati semua itulah saya bisa menjadi seperti sekarang. Tidak kebetulan saya dididik dengan cara yang bapak saya lakukan saat saya kecil. Bagaimana bapak mendidik saya membuat saya memiliki memiliki perhatian khusus pada bidang pendidikan. Apa memang cara belajar harus dengan cara seperti itu? Kenapa saya hanya harus lebih memfokuskan belajar matematika dan ilmu alam? Terkadang saya merasa saya tidak perlu sekolah, karena saya merasa kebanyakan guru-guru memaksakan cara mereka kepada saya padahal menurut saya tidak semua yang mereka katakan itu benar, bahkan menurut saya malah membodohi. Kenapa saya harus diwajibkan membeli buku A padahal ada banyak sumber belajar lain? Kenapa seolah harus ikut les ini-itu, kursus sana-sini biar jadi pintar? Emang di sekolah ngapain aja? Gak cukup ya? Kenapa harus dibuat kelas unggulan dan anak-anak yang dianggap “tidak sesuai standar” tidak terlalu mendapat perhatian?

Saya sangat yakin, kultur di keluarga saya, bagaimana peran bapak yang sangat besar dalam mendidik saya sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter dan nilai-nilai yang saya yakini. Semakin bertambahnya usia, saya semakin sering berdiskusi dengan orangtua saya. Mereka sangat terbuka untuk diajak berdiskusi. Saya bersyukur atas apa yang saya lewati saat saya kecil dulu. Bukan hanya karena pengalaman itu membuat saya memiliki perhatian yang besar tentang balajar dan pendidikan itu sendiri tapi juga mengantarkan saya pada pemahaman bahwa ada yang lebih besar dari sekedar pemikiran otak kiri dan pencapaian akademis; ada banyak hal yang terlewat saat proses belajar di sekolah--tidak diperhatikannya karakter individu-individu guna mengoptimalkan proses belajar itu sendiri; bahwa peran orangtua dan guru sama besarnya dalam proses pendidikan terutama pembentukan karakter; bahwa setiap anak itu unik dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya.

Satu lagi yang menarik tentang cerita pendidikan saya. Saya sangat bersyukur saya mendapatkan luxury bahwa sejak SD-Perguruan Tinggi saya selalu berhasil masuk ke sekolah/perguruan tinggi yang notabene memiliki predikat yang baik. Saya merasa saya tidak pernah bekerja luar biasa keras untuk mencapai semua itu. Saya belajar, ya saya belajar. Saya mempersiapkan diri, ya saya mempersiapkan diri. Namun dalam batas normal. Saya tidak pernah ketakutan setengah mati tidak akan mendapat sekolah. Saya baru menyadari bahwa mind-pattern yang membuat saya bisa mencapai semua itu dari dulu adalah, saya selalu percaya, percaya akan diri saya dan saya tidak pernah berpikir akan kegagalan. Mind-pattern inilah yang menurut saya bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. If 11-year-old me can do that, sure now I can do better. And if I can do that, so do other people :)

Starting over


Kali ini saya ingin bernarasi tentang diri saya sendiri. Belakangan saya sering menghabiskan waktu untuk merangkum bagaimana saya berkembang dari kecil hingga saat ini. Ada beberapa hal yang saya sadari yang dominan menggambarkan saya sebagai seorang individu. Tulisan ini semata adalah hasil refleksi yang beberapa diantaranya sudah saya sadari dari dulu dan beberapa lagi baru dan semakin saya sadari belakangan ini. Refleksi itu akan saya gambarkan dalam beberapa tulisan. “Saya dan pendidikan” akan menjadi pembuka dari refleksi itu.